Batamat Al Qur'an adalah sebuah tradisi agamis yang telah
lama dipertahankan oleh masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan. Suku Banjar,
terkenal dengan masyarakatnya yang sangat agamis, sehingga seluruh sendi
kehidupan mereka selalu berlandaskan keagamaan. Batamat Al Qura'an merupakan
salah satu tradisi agamis yang dilaksanakan ketika seseorang telah
mengkhatamkan membaca Al Qur’an.
Setiap daerah di Kalimantan Selatan memiliki cara-cara
tersendiri dalam melaksanakan tradisi batamat Al Qur’an. Terdapat perbedaan
pada waktu pelaksanaan, perangkat yang digunakan dan tata cara pelaksanaan.
Sebagian masyarakat melaksanakan batamat Al Qur’an pada saat acara pernikahan
atau perkawinan. Biasanya mempelai (pengantin) yang melakukan batamat Al Qur’an.
Tapi ada juga masyarakat yang melakukan pada bulan-bulan tertentu misalnyaBulan
Mulud (Rabiul Awal), Namun semuanya merujuk pada kegiatan utama yaitu membaca
Al Qur’an pada bagian akhir (Juz Amma).
Di Desa Simpang Mahar, Kecamatan Batu Benawa, Kabupaten Hulu
Sungai Tengah, tradisi batamat Al Qur’an biasanya dilaksanakan pada saat
merayakan Hari Raya Iedul Fitri atau Iedul Adha. Lazimnya dilaksanakan pada
hari raya tiga hari atau empat hari (hari ketiga atau keempat lebaran) dengan
tempat di Masjid Al Amin, Simpang Mahar. Batamat Al Qur’an dapat diikuti oleh
siapa pun baik anak-anak maupun sudah dewasa. Tapi pada umumnya yang mengikuti
adalah anak-anak yang telah mekhatamkan membaca Al Qur’an yang mereka lakukan
setiap malam.
Pada saat lebaran kemaren, telah dilakukan acara Batamat Al
Qur’an di Simpang Mahar pada saat hari raya tiga hari (hari ketiga lebaran).
Sebanyak 15 anak mengikuti kegiatan ini, rata-rata berumur 10 – 12 tahun.
Persiapan yang dilakukan adalah kostum dan perangkat yang mengikuti sang
“pengkhatam”. Kostum bagi anak laki-laki adalah baju gamis (jubah khas timur
tengah) lengkap dengan sorban dan patah kangkung yang dipakai di kepala.
Sedangkan bagi anak perempuan memakai baju sejenis jubah berenda dan bulang
yang dipakai di kepala. Kostum ini adalah pakaian yang biasa dipakai jemaah
haji ketika mereka pulang ke kampung halaman.
Selain kostum, juga disiapkan payung yang dibuat dari
pelepah rumbia atau bambu. Payung diberi hiasan kertas warna-warni dan
adakalanya tiang payung adalah bambu yang berisi telur rebus yang telah matang.
Selain itu juga disiapkan balai (miniatur masjid) yang dibuat dari pelepah
rumbia, yang diberi hiasan dengan kertas warna-warni. Di dalam balai
ditempatkan ketan putih dan ketan merah, telur, dan makan-makanan kecil yang
digantung. Untuk menambah semarak balai, maka juga ditancapkan beberapa bendera
dari kertas dan uang. Balai disangga dengan dua potong pelepah rumbia agar
dapat di usung ketika prosesi arak-arakan.
Prosesi dimulai saat anak keluar dari rumah untuk menuju
masjid. Ketika di muka pintu, sang anak akan disambut dengan shalawat yang
diiringi dengan lemparan baras kuning(beras kuning) bercampur uang koin ke
halaman rumah. Anak-anak lain yang sudah menunggu di halaman rumah, akan
memperebutkan uang koin yang dilemparkan tersebut. Selanjutnya sang anak akan
diarak sambil dipayungi beserta rombongan lain menuju masjid. Di bagian depan
arak-arakan, sang “pengkhatam” berjalan sambil dipayungi diiringi oleh balai
yang diusung di belakangnya masing-masing.
Kemeriahan akan terasa lagi ketika rombongan arak-arakan ini
tiba di masjid. Mereka akan disambut dengan shalawat dan hamburan baras kuning.
Acara batamat Al Qur’an dilaksanakan di dalam masjid, sedangkan balai yang
dibawa dari rumah di tempatkan di halaman masjid.
Hal yang unik dan ditunggu-tunggu para kerabat dan
masyarakat yang berhadir pada acara tersebut adalah saat-saat memperebutkan
semua makanan dan uang yang ditempatkan di dalam balai. Saking berharapnya,
setiap anak (tak terkecuali yang dewasa) sudah mengelilingi balai ketika
diturunkan di halaman masjid. Setiap orang siap-siap menjulurkan tangannya ke
arah makanan dan bendera uang yang siap terlepas dari balai. Jika salah seorang
sudah memulai mencabut bendera uang dengan tiba-tiba, maka serentak anak-anak
dan orang tua berebut tanpa dapat dicegah lagi. Mereka akan memperebutkan semua
makanan, ketan, telur, makanan ringan, bendera kertas, yang menjadi target
utama biasanya adalah bendera uang dalam bentuk seribuan. Kadang-kadang saking
ramainya, beberapa balai akan hancur akibat terhimpit, bahkan bisa-bisa sampai
tertindih.
Perebutan makanan dan bendera balai, biasanya terjadi pada
saat pembacaan Surah Al Fiil. Entah apa hubungannya dengan bunyi ayat yang
dibaca, namun pada bacaan “Alam tarakaii fafa ‘ala ...”, maka sontak mereka
yang telah siap dengan tangan menjulur akan menarik dan mengambil semua makanan
dan bendera yang ada pada balai. Kalau dalam bahasa Banjar, “tarakai” artinya
adalah rusak atau hancur, maka apakah ini terkait dengan rusaknya atau hancurnya
balai akibat saling berebut.
Pembacaan Al Qur’an diteruskan secara bergantian oleh
“pengkhatam”, sampai pada Surah AN Naas, kemudian dilanjutkan lagi dengan
membaca Surah Al Fatihah di bagian depan Al Qur’an. Hal ini dimaksudkan agar
membaca Al Qur’an terus-menerus dilakukan walaupun telah mengkhatamkan Al
Qur’an. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa khatam Al Qur’an, dan
selanjutnya masyarakat yang hadir dipersilakan untuk mendatangi rumah yang
memiliki hajat untuk menyantap hidangan yang disediakan, tentunya hidangan khas
Banjar, seperti soto Banjar, nasi sop, masak habang, ataupun masakan lainnya.
Tidak ketinggalan ketan putih dan ketan merah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar