Tujuan utama mereka berpolitik jelas untuk mendapatkan
fasilitas dalam berbisnis. Dengan kekuasaan mereka dapat mengatur berbagai
kebijakan untuk menguntungkan bisnis mereka. Seperti Surya Paloh, membawa
kawannya dari Cina bernama Sam Pa, pemilik perusahaan Sonangol EP untuk menjadi
pemasok minyak asal Angola ke Indonesia.

Jusuf Kalla setelah kembali menjabat sebagai wakil presiden,
perusahaan miliknya, PT. Bosowa, kembali mendapatkan pembangunan PLTU Jenoponto
II. Ketika dia baru menjadi wakil presiden SBY. Tahun 2005 pembangunan PLTU
Jeneponto I berhasil didapat. Rencana pembangunan molor lama sehingga baru di
akhir tahun 2012 selesai. Entah apa dasar pertimbanganya hingga PT. Bosowa
kembali mendapat jatah untuk pembangunan PLTU.
Kadang para pengusaha juga bersikap kutu loncat. Seperti
Murdaya Poo, kala Megawati masih
berkuasa dia mendekati PDI-P, sehingga sempat menjabat sebagai Bendahara. Tapi
ketika terlihat SBY akan menjadi Presiden, istrinya Hartati Murdaya merapat ke
SBY dan sempat menjadi anggota Dewan Pembina Partai Demokrat.
Ada juga pengusaha dalam berpolitik berfaham ISIS (Ikut Sana
Ikut Sini). Seperti James T. Riady, dalam Pilpres kemarin mendukung
pasangan ke Jokowi-JK. Tapi dia juga
mengutus Presiden Direktur perusahaannya Lippo Group, Theo L. Sambuaga, untuk
menjadi tim sukses Prabowo-Hatta.
Kalau menyumbang uang ke semua parpol kuat, semua pengusaha
di negeri ini jelas melakukannya. Ini karena mereka paham, bila berseberangan
dengan Parpol yang berkuasa, nasib bisnisnya bisa tak menentu.
penyelewengan tersebut. Selain
kebijakan ekonomi, kekuatan politik juga dapat mempengaruhi jalannya proses
hukum. Lihat saja kedigjayaan Bakrie Life untuk tidak membayar uang nasabahnya
sebesar 270 milyar. Pihak OJK dan Depkeu seperti tidak bernyali untuk mengusut
Hukum juga dapat digunakan untuk membungkam penghambat
kepentingan para politisi. Seperti yang dialami oleh Abraham Samad, Bambang
Widjojanto, Denny Indrayana dan terakhir adalah kasus Novel Baswedan. Politisi
tidak akan segan-segan menggunakan aparat penegak hukum untuk mengkriminalisasi
mereka.
Waktu jaman orde baru,
kekuatan politik bersifat monokrasi alias terpusat hanya kepada Suharto.
Sehingga kebijakan ekonomi sering hanya mengutungkan kerabat dan
kroni-kroninya. Hukum juga tidak dapat menyetuh mereka. Bahkan seorang jendral
polisis jujur bernama Hoegeng Iman Santosa diberhentikan menjadi Kapolri karena
mengusut kasus penyelundapan mobil oleh Robby Tjahjady, pengusaha yang dekat
dengan keluarga Suharto.
Sekarang kekuasaan
bersifat oligarki. Para politisi berusaha menaruh orang-orangnya dalam jajaran
petinggi penegak hukum. Surya Paloh telah berhasil menaruh kader partainya
menjadi Jaksa Agung. Sehingga PDI-P juga ingin menaruh pengaruhnya di Polri.
Tujuan mereka untuk mempengaruhi penegak hukum agar selalau mengamankan
kepentingan mereka.
Tapi mereka tidak bisa mengatur satu institusi penegak hukum
bernama KPK. Integritas KPK dalam menegakkan hukum sampai sekarang masih
mendapat kepercayaan rakyat. Bayangkan saja, setelah pimpinan KPK Abraham Samad
dan Bambang Widjojanto dikriminalisasi, KPK tidak juga jera. Ketika Kongres
PDI-P di Bali, kembali KPK beraksi, dan menangkap basah seorang anggota DPR-RI
Fraksi PDI-P bernama Adriansyah. Aksi itu membuat para petinggi PDI-P berang.
Di intervensinya hukum oleh kekuasaan politik menciptakan ketidakpastian dalam dunia bisnis. Akibatnya,
ketika Bank Dunia menyelenggarakan survey tahun 2014 tentang kemudahan
berinvestasi, Indonesia berada di peringkat ke 120 dari 189 negara. Bandingkan
dengan negara ASEAN lainya. Seperti, Singapura peringkat pertama. Malaysia
peringkat ke enam dan Thailand peringkat ke-18. Bahkan Vietnam saja berada di
peringkat 99.
Politik sebagai panglima membuat cara mendapatkan kekuasaan
dan mempertahankannya tidak lagi memakai etika. Maka jangan heran bila
prinsip-prinsip Machiavelli kini sangat popular di kalangan politisi.
Untuk mengembalikan negara ini menjadi negara hukum, semua
institusi penegak hukum harus
disterilkan dari kepentingan politik. Dengan demikian, setiap pemilihan Kapolri
dan Jaksa Agung harus dilakukan uji publik oleh tokoh–tokoh yang mempunyai
integritas tinggi, dan dilakukan secara terbuka.
Dalam konteks ini, SBY telah membuat tradisi baik, yaitu
meminta masukan dari PPATK dan KPK ketika mau mengangkat Kapolri dan Jaksa
Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar