A.BIROKRASI
DALAM SISTEM ADMINISTRASI NEGARA DI INDONESIA
Administrasi sebagai ilmu
mempunyai sifat umum dan universal dalam arti memiliki unsur-unsur yang sama,
dimanapun dan kapanpun ilmu administrasi tersebut diterapkan. Banyak sistem
administrasi negara yang kita jumpai di dunia ini dan hampir disetiap negara
mempunyai sistem administrasi negara. Bahkan dari administrasi negara tersebut
memiliki cabang lagi yaitu subsistem administrasi negara di setiap wilayah
negara tertentu.
Subsistem negara administrasi
negara tersebut menggambarkan hubungan antara administrasi negara dengan
lingkungan sekitar baik lingkungan fisik maupun lingkungan masyarakat.
Untuk mempelajari hubungan
administrasi negara dan lingkungan tersebut maka diperlukan suatu pendekatan
yang diambil dari ilmu kehidupan yaitu ekologi. Ekologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari hubungan pengaruh yang bersifat timbal balik antara alam sekitar
dengan organisme hidup.
Cabang atau subsistem dari ilmu
administrasi tersebut disebut ekologi administrasi negara. Ekologi administrasi
negara merupakan perkembangan lanjut dari perkembangan perilaku dan bukan
administrasi lingkungan sebagaimana dipopulerkan oleh sebagian orang yang
sebenarnya administrasi lingkungan itu belum pernah ditemukan dalam berbagai
literatur ilmu administrasi. Dalam perkembangan perilaku dari aspek budaya
dikaji pula berbagai pola perilaku seseorang ataupun sekelompok orang (suku)
yang orientasinya berkisar tentang kehidupan bernegara, penyelenggaraan
administrasi negara, politik, hukum, adat istiadat dan norma kebiasaan yang
berjalan, dipikir, dikerjakan, dan dihayati oleh seluruh anggota masyarakat
setiap harinya, serta dicampurbaurkan dengan prestasi di bidang peradaban (Inu
Kencana, dkk, Ilmu Administrasi Publik; 140).
Ekologi administrasi adalah ilmu
administrasi yang menaruh perhatian atas faktor-faktor ekologi yang
mempengaruhinya. Kalau administrasi tentang lingkungan, dimaksudkan adalah
administrasi tentang lingkungan. Hal itu lebih sesuai jika dikatakan sebagai
ilmu kebijakan lingkungan.
Dalam hubungan dengan ekologi administrasi negara, faktor-faktor
ekologis ini banyak sekali dan bermacam-macam yang oleh para ilmuan dan
peneliti diperinci untuk memudahkan menyelidiki dan mempelajari hubungan
pengaruh timbal balik antara faktor-faktor tersebut dengan administrasi negara.
Sistem administrasi negara Indonesia sejalan dengan aspek-aspek
kehidupan nasional, sehingga faktor-faktornya terdiri dari faktor-faktor yang
beraspek alamiah dan sosial (kemasyarakatan). Faktor-faktor yang beraspek
alamiah, yaitu letak geografis, keadaan dan kekayaan alam, keadaan dan
kemampuan penduduk sedangkan faktor-faktor yang beraspek sosial
(kemasyarakatan), yaitu ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan
pertahanan-keamanan (militer).1 (S. Pamudji “Ekologi Administrasi Negara” )
Administrasi negara sebagai organ birokrasi negara adalah alat-alat
negara yang menjalankan tugas-tugas negara, di antaranya menjalankan tugas
pemerintahan. Pemikiran ini mengasumsikan bahwa pemerintah tidak selalu sama
dengan negara. Birokrasi dan Administrasi itu mempunyai hubungan yang sangat
erat. Setiap organisasi tidak akan lepas dari sebuah birokrasi dan
administrasi. Karena birokrasi dan administrasi menyatupadukan aktivitas organisasi
menuju titik yang sama.
B. Birokrasi
Dalam literatur ilmu sosial,
birokrasi umumnya dipandang sebagai aktor yang sekadar menerapkan kebijaksanaan
yang telah diputuskan di tempat lain. Namun seringkali yang kita dapati di
masyarakat bahwa birokrasi tidak hanya mendominasi kegiatan administrasi
pemerintah tetapi juga kehidupan politik masyarakat secara keseluruhan.
Birokrasi pemerintah seringkali
diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang
raja-rajanya adalah para pejabat dari ssuatu bentuk organisasi yang digolongkan
moderen. Konsepsi birokrasi weber yang dianut dalam organisasi pemerintah
banyak memperlihatkan cara-cara officialdom di atas. Pejabat birokrasi adalah
sentra dari penyelesaian urusan masyarakat. Jabatan yang berada di hierarki
atas mempunyai kekuasaan yang lebih besar ketimbang jabatan yang berada di
tataran bawah.
Konsep birokrasi Weber mendapat
kritikan dari Warren Bennis (1967). Ia mengatakan bahwa birokrasi Weberian
sekitar 25 sampai 50 tahun yang akan datang akan mengalami kejatuhan dan
diganti dengan sistem sosial yang baru yang sesuai dengan harapan masyarakat
pada abad ke-20 (Thoha, 1984).
Sampai saat ini sudah berada pada
abad ke-21 ramalan Bennis dan juga para kritikus lainnya ternyata telah banyak menjadi
kenyataan. Officialdom itu ternyata telah mulai pudar. Salah satu wujud dari
pudarnya kerajaan pejabat itu ialah dilakukan gerakan reformasi dalam birokrasi
pemerintah antara lain berusaha mengubah sikap keterbukaan pelaku-pelakunya.
Salah satu tanda kemajuan zaman
dan perubahan global ialah diperlakukannya cara kerja dengan mempergunakan
teknologi informasi. Cara kerja semacam ini akan menjadikan birokrasi tanpa
batas (boundaryless organization, Ashkenas, 1995). Jika birokrasi tanpa batas
ini dan tanpa kertas itu diperlakukan maka tatanan organisasi yang vertically
operated , akan berubah dan memberikan wajah baru dari birokrasi yang tidak
tidak lagi secara tegas mengikuti garis hierarki. Dengan demikian sesuai dengan
asas demokrasi kewenangan demokrasi itu tidak hanya berada dihierarki atas
(penguasa) melainkan ada di mana-mana (decentralized).
Birokrasi pemerintah tidak bisa
dilepaskan dari proses dan kegiatan politik. Pada setiap gugusan masyarakat
yang membentuk suatu tata kepemerintahan tidak bisa dilepaskan dari aspek
politik ini. Politik sebagaimana kita ketahui bersama terdiri dari orang-orang
yang berperilaku dan bertindak politik yang diorganisasikan secara poolitik
oleh kelompok-kelompok kepentingan dan berusaha mencoba mempengaruhi pemerintah
untuk mengambil dan melaksanakan suatu kebijakan dan tindakan yang bisa
mengangkat kepentingannya dan mengenyampingkan kepentingan kelompok lainnya.
Birokrasi pemerintah langsung ataupun tidak langsung akan selalu berhubungan
dengan kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat.
Hampir semua masyarakat di negara
mana pun di dunia ini semua orang memandang bahwa tindakan pemerintah yang
dijalankan melalui mesin birokrasinya merupakan cara terbaik untuk menciptakan
otorisasi dan menetapkan peraturan yang mengikat semua pihak. Birokrasi
pemerintah merupakan institusi yang bisa memberikan peran politik dalam
memecahkan konflik politik yang timbul di antara orang dan kelompok
orang-orang.
Birokrasi pemerintah harus
bersifat netral. Jika pemerintah dibuat netral, maka rakyat secara keseluruhan
akan bisa dilayani oleh birokrasi pemerintah. Melayani rakyat secara
keseluruhan artinya tidak mengutamakan dan memihak kepada salah satu
kepentingan kelompok rakyat tertentu. Oleh karena itu, netralitas birokrasi
pemerintah dari kepentingan politik tertentu akan mampu melahirkan tatanan
kepemerintahan yang demokratis.
C. Lembaga
Birokrasi Pemerintah
Lembaga birokrasi adalah suatu
elemen penting di dalam pengembangan bangsa di banyak negara yang sedang
berkembang. Lembaga birokrasi itu terdiri dari badan dan organisasi yang
dibentuk pemerintah, baik yang berupa lembaga kementerian negara, lembaga
pemerintah nonkementerian, maupun lembaga nonstruktural berupa komisi dan dewan
yang dibentuk lembaga kepresidenan.
Selama ini kelembagaan birokrasi pemerintah selalu
ditarik dari lokus dan fokus penggunaan kekuasaan yang sedikit banyak
menjauhkan dari terwujudnya demokrasi. Tarik-menarik dari lokus dan fokus
penggunaan kekuasaan berada diantara legislatif dan eksekutif. Periodisasi dari
tarik-menarik dari lokus dan fokus kekuasaan dalam sejarah pemerintahan
Indonesia tersebut yaitu:
· Periode 1945 – 1950
Pada periode ini, semangat
perjuangan masih mewarnai penyelenggaraan pemerintahan kita. Persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara sangat dijunjung tinggi oleh para pelakunya.
Kepentingan minoritas lebih dihargai oleh kekuatan mayoritas demi persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara proklamasi.
Semangat
primodial, dimana saat itu dipegang oleh PKI yang merupakan satu-satunya
organisasi politik primodial yang mengancam negara proklamasi dan melakukan
pemberontakan dalam rangka menguasai pemerintahan dan negara, untuk sementara
waktu kalah oleh semangat nasional.
Pada awal
kemerdekaan, lembaga pemerintahan dianggap sebagai sarana politik yang baik
untuk mempersatukan bangsa karena lembaga ini mempunyai birokrasi yang mampu
menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Namun dalam perjalanan sejarah nampak
gejala semakin menguatnya aspirasi primodial dalam lembaga birokrasi pemerintahan.
Lembaga ini menjadi incaran keekuatan-kekuatan politik. Partai-partai polotik
mulai mengincar peluang untuk menguasai lembaga birokrasi pemerintahan ini.
· Periode 1950 – 1959
Pada peridoe kedua ini, gejala
semakin derasnya kekuatan politik mengincar terhadap lembaga birokrasi
pemerintah semakin hari semakin dirasakan. Pada tahun ini UUD Sementara 1950
diperlakukan yang menganut sistem demokrasi parlementer, bahwa pemerintah bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Akibat dari Maklumat Wakil Presiden 3 November 1945, kita
menganut sistem banyak partai yang memberikan kebebasan kepada masyarakatnya
untuk mendirikan partai politik sesuai dengan aspirasinya. Pada periode ini
terselenggara pemilihan umum pertama yang dikenal sangat demokratis. Ketika itu
semua partai politik yang memenangkan suara berkeinginan untuk menguasai
beberapa kementerian. Bahkan tidak jarang terjadi kabinet pemerinta dibubarkan
hanya karena pembagian kementerian yang tidak sesuai dengan tuntutan
partai-partai politik.
Sementara itu, aparat pemerintah
yang diharapkan netral juga sudah pandai bermain mata dengan kekuatan-kekuatan
politik yang ada. Pada periode ini di sana-sini militer sudah mulai ikut
memainkan peran dalam percaturan politik.partisipasi politik militer mulai
tampak ketika tentara menolak perjanjian KMB yag merupakan hasil perjuangan
untuk menegakkan kemerdekaaan oleh politisi sipil melalui jalan diplomasi.
Peran tentara ini kelak akan diwujudkan dalam konsep dwifungsi yang menekankan
bahwa militer tidak hanya berperan di bidang keamanan dan pertahanan saja,
melainkan juga di bidang sosial dan politik.
· Periode 1960 – 1965
Pada periode ini, lembaga
pemerintah semakin jelas diincar oleh kekuatan partai politik. Di bawah label
demokrasi terpimpin, tiga partai politik membangun akses ke lembaga pemerintah.
Tiga kekuatan partai politik Nasakom berambisi menggunakan jabatan birokrasi
dalam lembaga pemerintah sebagai building block untuk kepentingan membangun
organisasi partainya. Pada masa ini lembaga pemerintah sudah terperangkap ke
dalam jaring yang dipasang oleh kekuatan politik Nasakom. Hal ini terbukti
ketika terjadi tragedi nasional pemberontakan PKI 30 September 1965.
Dari data
yang diungkap ternyata kekuatan partai politik PKI telah menyusup ke hampir
semua departemen pemerintah. Sementara itu, kekuatan agama dan nasionalis
mendominasi kapling departemen masing-masing.
Pada periode ini dengan upaya PKI menguasai lembaga pemerintahan, dan
peran partai politik yang semakin berrebutan kekuasaan ternyata partai politik
kurang mampu menghadirkan pemerintahan sipil yang profesional. Oleh karena itu,
pada saat ini lalu tampil kekuatan militer dalam panggung politik pemerintahan
kita.
· Periode 1966 – 1999
Pada periode ke empat antara
tahun 1966 pertengahan tahun 1999 lembaga pemerintah lebih memihak kepada
kekuatan politik yang dominan. Salah satu faktor yang menentukan kemenangan
Golkar dalam beberapa kali pemilu selama pemerintahan Orde Baru adalah karena
peranan lembaga pemerintah ditambah kekuatan ABRI yang sangat solid mendukung
Golkar sebagai tulang punggung pemerintahan.
Lembaga
birokrasi pemerintah mempunyai kepanjangan otoritasnya sampai ke pelosok desa
diseluruh tanah air. Di hierarki atas birokrasi pemerintah terdapat lembaga
kabinet yang dipimpin presiden dan dibantu para menteri. Di hierarki tengah
terdapat lembaga Propinsi Pemerintah Daerah Tingkat I yag dipimpin Gubernur
Kepala Daerah Penguasa Tunggal di wilayah propinsi. Di Daerah Tingkat II
terdapat lembaga birokrasi pemerintah Kabupaten dan Kotamadya yang dipimpin
Bupati/Walikota Penguasa Tunggal di daerah Tingkat II ini. Seterusnya di desa
ada lurah dan kepala desa wakil penguasa tunggal tersebut di tingkat pedesaan.
ABRI pun mempunyai hierarki kekuasaan
yang mengikuti sistem hierarki birokrasi pemerintah.
Pada
periode ini demokrasi yang meletakkan kedaulatan rakyat tidak banyak
dipraktikkan. Sementara itu demokrasi menurut perspektif kekuasaan yang
bernuansa rekayasa untuk kepentingan penguasa amat jelas di lakukan selama
pemerintahan Orde Baru. Orang-orang militer banyak menguasai lembaga sipil,
sehingga selama periode ini lebih banyak dikenal sebagai pemerintahan sipil
yang dikuasai oleh militer.
Demikianlah perkembangan
kelembagaan birokrasi pemerintahan yang cenderung menjadi sasaran dari
kekuasaan, dan pada akhir dari periode yang terakhir tersebut mulai dirasakan
perlunya reformasi.
Reformasi sekarang ini zamannya
dan sistem politiknya telah berubah. Oleh karena itu, mestinya jabatan politik,
nonpolitik, dan lembaga departemen dan nondepartemen tidak sama dengan zamannya
pemerintahan Orde Baru dahulu.
Semenjak Indonesia merdeka tahun 1945 sampai sekarang ini interaksi
kehidupan partai politik dan birokrasi tidak bisa dihindari. Interaksi itu membawa
pengaruh baik positif maupun negatif bagi keduanya. Birokrasi pemerintah yang
tidak bisa dipisahkan dari praktik kekuasaan membuat birokrasi pemerintah
ibarat kerajaan kekuasaan atau pejabat.
Penggunaan kekuasaan dalam birokrasi pemerintah, tidak jauh bedanya
dengan aplikasi teori elit seperti yang dikenal dalam referensi kehidupan
politik di negara-negara maju. Teori ini menekankan bahwa kekuasaan itu tidak
hanya berada di tangan elit birokrasi pemerintah, akan tetapi juga pelaksanaan
kekuasaan itu berada di tangan elit yang tidak bertanggung jawab. Itulah
sebabnya birokrasi pemerintah tidak mempunyai akuntabilitas terhadap rakyat
(Hunter, 1953; Mills, 1959).
Adanya hubungan yang erat antara birokrasi dan penguasa menyebabkan
birokrasi sangat mudah sekali terpengaruh oleh orde politik. Hal ini sering
terjadi di negara sedang berkembang. Di Amerika Latin misalnya, terbukti bahwa
kejatuhan suatu rezim menyebabkan
hancurnya posisi birokrasi secara total. Tetapi hal ini tidak terjadi di
negara-negara yang sedang mengalami pembaharuan atau negara yang telah
memperoleh prestise birokrasi yang baik seperti di Thailand.
Birokrasi pemerintah tidak lagi seperti yang dipostulatkan oleh pakar
politik selama ini sebagai satu-satunya pusat kekuasaan. Dahulu mungkin benar,
akan tetapi perubahan-perubahan yang terjadi menjelang abad ke-21 ini membuat
situasi dan konstelasinya harus dibalik. Pusat kekuasaan ada di tangan rakyat.
Dengan demikian jika kegiatan birokrasi pemerintah tidak cocok lagi dengan
keinginan rakyat, maka birokrasi harus mau mempertanggungjawabkan kepada
rakyat. Jika akuntabilitas ini benar-benar dikerjakan oleh birokrasi
pemerintah, maka transparasi, keterbukaan, dan kejujuran akan diperlihatkan
oleh kinerja birokrasi pemerintah.
Upaya untuk mengubah pemusatan
kekuasaan yang ada di tangan elit birokrasi pemerintah itu, sehingga
akuntabilitas bisa dilakukan dengan
membiasakakan melakukan desentralisasi kekuasaan. Pentingnya desentralisasi kekuasaan
birokrasi pemerintah itu, selain untuk mengembalikan kekuasaan atau
memberdayakan kepada rakyat, juga karena didorong oleh adanya keterbatasan yang
dialami oleh birokrasi pemerintah sendiri.
Daftar Pustaka
Thoha, Miftah. 2007. Biokrasi & Politik di Indonesia.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Ali, Farid. 2004. Filsafat Administrasi. Jakarta :
PT RajaGrafindo Persada
Pamudji, S. Ekologi Administrasi Negara. Jakarta :
Bumi Aksara
Gaffar, Afan. 1989. Beberapa Aspek Pembangunan
Politik. Jakarta : Rajawali
Mas’oed, Mohtar. 1994. Politik, Birokrasi dan
Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Zauhar, Soesilo. 2007. Reformasi Administrasi
Konsep, Dimensi dan Strategi. Jakarta : Bumi Aksara